Bertahun-tahun aku berjuang untuk meyakinkan Nana. Di tengah krisis hidupku sendiri, berpindah-pindah kerja pada orang lain. Tidur di emperan toko, hingga nyaris dihajar oleh pemilik toko itu. Menumpang trotoar sana dan sini. Hingga perlahan-lahan aku bisa menyewa kamar tidur yang sedikit layak. Kemudian perlahan-lahan pula aku meminta Nana percaya padaku. Melihat perjuanganku. Melihat segala upaya dan pengorbananku untuk bersamanya. Siapa yang menyangka, bahwa aku akhirnya mampu memiliki sebuah hotel sendiri dan bisnis catering yang sangat maju saat ini?
Hingga akhirnya.. Tibalah aku pada satu hari yang tak akan pernah kulupakan. Hari dimana kami berdua ke Jepang. Tepat sekali waktunya: saat musim salju. Dalam suasanya Natal yang begitu kental di Sapporo, kami berdua berjalan di tengah gemerlap lampu natal yang terpasang di sepanjang jalan.
Beberapa warga kota ada yang berjalan pulang sambil membawa sekeranjang penuh ayam KFC untuk dinikmati bersama keluarga. Kami berjalan, tersenyum berdua. Sesekali menghembuskan napas, yang ditandai dengan adanya kebulan putih keluar dari mulut kami.
Nana yang saat itu tengah menggunakan jaket merah muda, penutup telinga, dan penutup kepala yang selaras warnanya nampak begitu manis dan membuat wajahku menjadi merah merona karena selalu jatuh cinta dengan kecantikannya. Kami membicarakan banyak hal, sebelum akhirnya aku mengatakan ini.
“Ayo menikah.” tanpa basa-basi, tanpa sebuah adegan berlutut dan kotak cincin yang dibuka.
Nana diam. Kami masih terus berjalan. Napas kami beriringan. Begitu tampak jelas dari mulut kami.
Mendadak aku khawatir. Apakah aku salah melupakan cincin dalam rencana lamaran ini?
“Ayok!” Nana menjawab singkat. Aku terkejut. Girang setengah mati. Belum aku berhasil memeluknya, Nana sudah berujar.
“Tapi dengan satu syarat!” Aduh! Mengapa harus ada syaratnya? batinku agak kesal.
“Kamu harus bisa tangkap aku!” lalu Nana mulai mempercepat langkahnya dan akan berlari.
Gila apa? “Tapi Na! Jalannya kan- …” aku sudah akan menyelesaikan kalimat peringatanku ketika kaki Nana sudah bermanuver ke atas dan punggungnya dengan cepat mengikuti gaya tarik bumi.
BRAKK!!! Nana jatuh terpeleset.
“…-licin.” aku masih mau menyelesaikan kalimat peringatanku.
Aku ingin bergegas membantunya berdiri. Tapi apa daya, jalanan di sini cukup licin. Nanti salah-salah aku juga akan menjadi korban jalan licin setelah Nana.
“Hanya dalam hal ini kamu tampak begitu bodoh.” ujarku mengejeknya sambil memasukkan kedua tanganku di antara ketiaknya untuk membantunya berdiri.
“Sakiiitt…” ucap Nana sambil meringis memegangi punggungnya. Matanya sedikit mengeluarkan air mata.
“Untung jaketmu tebel.” jawabku menenangkan.
“Tapi kan celananya nggak tebel-tebel amaaat!” bantahnya setengah jengkel. Kini menggosok-gosok bokongnya.
“Ayo kembali ke hotel!” ucapku lalu dengan cepat kubopong dirinya.
“Hwaaa! Nanti kita berdua jatuh!” teriaknya panik.
“Hmm.. kamu meremehkan kekuatan pria yang sudah biasa jadi kuli semen hah?” ujarku menyombongkan diri. Ternyata ada gunanya pula aku bekerja kasar selama beberapa tahun belakangan. Badanku jadi lebih atletis. Mengangkat Nana yang besar tubuhnya hanya setengah dariku adalah hal yang amat sangat mudah.
“Mmmh! Kamu makan apa Na? Kok tambah berat?!” ucapku menggodanya.
“JAHAT! Aku nggak tambah gendut ya!” teriaknya sambil memukul-mukul dadaku.
“Heh! Jangan gitu! Nanti aku dikira nyulik anak orang!” kataku setengah tertawa.
Nana tertawa kecil, lalu ia bertanya, “Terus aku harus ngapain dong?”
“Pura-pura mati.” jawabku singkat. Dan Nana menurutinya. Aku tertawa melihat ia akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam gendonganku lebih dalam.
“Sayang?” tanya Nana tiba-tiba. Suaranya terpendam oleh suara jaketku.
“Ya?” tanyaku.
“Bagaimana dengan bapak-ibu? Kamu sudah berdamai dengan mereka?” tanyanya lembut.
“Tentu aku akan melakukannya.” jawabku.
“Secepatnya ya? Aku tak ingin hubungan kita menjadi hubungan yang tak direstui.” ucapnya. Lalu ia kini membenamkan lagi wajahnya ke dalam dadaku. Mencari titik terhangat dari tubuhku.
Sapporo di malam itu kami lalui dalam keheningan. Malam natal terindah yang pernah kami lalui.
Bersambung ke Sebuah Perjumpaan di Dusun Gamuruh
Baca juga: