“Sini! Tidur sama Om.” ajakku. Lalu Pan membuka pintu lebar-lebar. Kulihat Caca di atas kasur di ruang tengah, hanya mengangkat bahunya. Bingung juga dengan kelakuan Pan.
“Oom? Pin-tu-nya, bu-ka?” kata Pan.
“Oh, pintunya dibuka aja?” tanyaku balik. Pan mengangguk.
“Nggak mau bobok sama om?” tanyaku lagi.
“Nggak mauuu!” teriak Pan lari menerjang perut Caca. Caca terkejut lalu tertawa. Lalu mereka berguling.
Tak lama kemudian aku berdiri, lalu mematikan lampu.
Pan yang tadinya tertawa langsung diam. Matanya tertuju padaku yang berada di ambang pintu kamar. Kamarku terlihat gelap.
Tatapan Pan kembali kosong seperti pagi tadi. Lalu dia menunjuk ke arah belakang pundakku.
“Oom.. atut..! A-ju-nya a-tuh..!” kata Pan terbata-bata. Caca terlihat bingung.
“Oom.. ja-ngan.. In-jak..” lanjut Pan. Tiba-tiba aku merinding. Aku merasa kakiku seperti menginjak keset. Tapi aku tahu kalau aku tidak meletakkan keset di dalam kamar.
“Ma-rah.. Ma-rah..” lanjut Pan. Kini muka Caca pucat.
Aku berbalik. Kulihat sesosok yang terlihat seperti kakek tua. Badannya tinggi-besar. Tampak begitu pucat. Bajunya compang-camping. Dan kain yang kuinjak itu adalah bagian dari ‘bajunya yang jatuh’.
Kulihat dia menerjangku. Aku terjembab dan tak sadarkan diri.
Ketika aku tersadar, aku berada di rumah sakit. Tak ada seorang pun di sampingku.
Pertama kalinya dalam hidupku aku ketakutan begini. Karena ketika aku menengok ke sisi yang lain, kakek itu sudah menyeringai padaku.
Badanku sangat lemas. Aku tidak dapat bergerak. Badanku rasanya panas sekali. Aku ingin memberontak. Tapi sekelebat yang kulihat di pintu kamar: “Ruang Isolasi”.
Entah bagaimana nasibku.