… (titik titik titik)
“Kamu melupakanku…”
Seketika aku menyadari, bahwa aku berada di satu siang yang begitu terik. Suara debur ombak berhamburan di telingaku. Tak beraturan. Namun anehnya, tetap saja, deburan itu begitu memberi kesan yang dalam. Aku tak pernah mengerti mengapa suara ombak dan kalimat itu kemudian begitu membuatku tertegun.
Kulihat seorang perempuan. Ia mengenakan gaun putih yang cantik. Parasnya pun tak kalah menyaingi indahnya pantai di siang itu. Rambutnya berwarna cokelat nan indah. Mereka kemudian bertahan di mustika perempuan itu ketika angin menerjangnya. Justru ketika itu terjadi, pesonanya makin terpancar. Matanya begitu indah. Memang, aku berada sepelemparan batu jauhnya dari dia. Anehnya, pesona tatapannya begitu terasa. Bibirnya merah merekah. Sayangnya tak ada kebahagiaan yang dilukiskan dari bibirnya itu.
Parahnya…
“Siapa kamu?”
Ya.. aku tak mengenalnya.
Kini dia tersenyum sedih. Jujur itu membuatku begitu khawatir. Dia memegangi rambut-rambut yang sedari tadi menghalangi pandangannya, kemudian merapikannya. Berharap tak lagi berjuntai-juntai terbang menutupi mata indahnya. Tapi angin pantai begitu nakal sehingga membuat rambutnya yang lain tetap terhempas dan menutupi parasnya.
Baca juga:
“Tak ada gunanya aku di sini. Kamu telah melupakanku.. “ ujarnya sekali lagi.
Apa yang kulupakan? Apakah dosa yang telah kuperbuat padanya? Kenapa ia tampak begitu kecewa?
“Maaf.. tapi aku benar-benar nggak tahu siapa kamu..” jawabku. Kini aku merasa rambutku sudah mulai lengket karena angin pantai yang turut membawa lautan kecil hinggap di rambutku.
“Kamu sudah melupakanku. Jadi lebih baik kita akhiri saja.” ini ketiga kalinya dia mengangkat tema ‘lupa’ yang jelas aku tak tahu sama sekali apa maksudnya. Apa salahku, dan apa yang telah kuperbuat.
Kini ia membalikkan badan, menghadap laut selatan. Yang jelas bukan rasa aman yang kudapatkan ketika ia mulai membalikkan badan. Ia melangkah dengan mantap menyusuri tebing tempat kami berdiri. Tebing itu cukup tinggi. Cukup menyeramkan pula kalau ada seorang yang terjun ke bawahnya. Dipastikan ia akan langsung tersapu oleh ombak besar. Entah mengapa, aku memikirkan hal yang buruk akan terjadi setelah ini.
“Selamat tinggal.” ucapnya dengan sedih, lalu berjalan begitu saja menuju akhir tebing.
“TIDAAAAAAAKKKKK!!!!”
—–
“KRIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIING!!”
Aku terbangun. Ada yang aneh terjadi pada wajahku.
Pipiku basah. Aku berpikir, apakah ini karena semalam hujan deras dan atap kamarku bocor. Setelah kusadari beberapa saat, rupanya itu adalah air mataku sendiri. Entah apa yang tengah kutangisi tadinya. Bahkan aku pun tak tahu pasti apa yang telah aku lihat di mimpi tadi.
Baca juga:
Kumatikan jam wekerku. Jarum-jarumnya menunjukkan kalau saat ini jam 04.00. Waktu yang tepat untuk bangun sangat pagi dan diawali oleh mimpi buruk. Mimpi buruk yang tak jelas sebabnya. Dan mengapa itu terasa begitu emosional.
Aku sengaja ingin bangun pagi karena aku harus mengerjakan laporan tugasku. Hari ini harus dikumpulkan, dan aku merasa kelelahan dengan tugasku yang tiada habisnya. Aku tak pernah menyangka bahwa hidup kuliah akan jadi semacam ini. Dulu beberapa orang mengatakan bahwa menjadi mahasiswa adalah saat-saat yang menyenangkan karena tidak se-stress saat SMA dulu. Tapi nyatanya, tidak ada bedanya satupun. Aku masih sibuk, bahkan hanya karena tugas-tugas kuliahku. Beberapa orang lagi mengatakan bahwa aku akan cukup senggang ketika skripsi nanti. Entah kebohongan apa lagi yang mereka rancangkan kepadaku kali ini.
Yang jelas. Aku duduk di kamar. Saat ini sedang menuliskan laporan.
“Kamu melupakanku.”
Bayang-bayang mata dan suara lembut perempuan itu muncul begitu saja ketika aku sedang serius menuliskan data laporan. Pagi masih cukup gelap di luar sana. Kalau boleh jujur, ini cukup menyeramkan. Parasnya yang cantik sekali itu justru membuat bulu kudukku merinding kali ini.
Siapa perempuan itu?
Rupanya mengerjakan laporan membuatku cukup bosan. Kubukalah timeline media sosialku. LINE, Facebok, YouTube, dan entah mengapa, semua berisi informasi yang begitu membakar hatiku pagi ini. Rasanya aneh, melihat manusia-manusia ini berusaha memaksakan keberagaman di saat semestinya umat manusia bisa digerakkan di bawah satu payung komando. Bukankah keseragaman dan persatuan itu mengagumkan? Seandainya semua orang sama bukankah akan jauh lebih mudah??