Sialan! Pantas Intan tadi bilang kalau aku harus dapat izin! Ternyata Ruri sudah punya suami! Itu mah semua laki-laki beres bakal tahu kalau dia nggak akan dapat izin!
Sial! Sial! Sial! Intan sialan! Ngapain juga dia ngomon se-ekspresif gitu tadi? Bikin orang ge-er!
Tapi, kenapa Ruri salah tingkah gitu ya?
Bodo amat! Kuhabiskan botol Kiyanti-ku yang ke-5. Aku merasa ngantuk sekarang. Semua pekerjaanku di laptop kutinggalkan. Aku tertidur.
Sebelumnya dalam Cinta yang Membutuhkan Izin dari Seseorang
Keesokan paginya, aku lewat di depan Indomerit itu lagi. Aku masih jengkel dengan Intan. Tapi aku tetap berusaha waras. Memang kita tak bisa memilih kepada siapa kita jatuh cinta. Jadi aku berusaha mengolah perasaan jatuh cinta sekaligus kecewa ini.
Hari ini aku berencana menuju rumah temanku untuk mendiskusikan bisnis. Rumahnya berada di kecamatan tetangga. Tak begitu jauh dari rumahku. Tapi ada pemandangan aneh di perjalanan ketika aku melewati jalan yang biasa kulintasi. Dua orang pria berbadan besar dan berwajah sangar mendatangi sebuah rumah kecil di pinggir jalan. Awalnya aku ingin mengabaikannya, tetapi perhatianku tertuju ketika kedua pria itu kini sedang menarik-narik tangan seorang gadis. Bukan. Itu Ruri!
Aku mengehentikan motorku tepat di depan rumahnya.
“Iya pak, nanti saya bayar!” teriak Ruri memberontak.
“Bayar pakai daun? Kamu bisa bayar pakai apa lagi hah?” ujar pria besar yang pertama.
Aku lalu menarik tubuh kedua pria besar itu.
“Maaf mas! Kalau dua pria lawan satu perempuan itu nggak sopan!” ujarku tenang.
Kedua pria itu saling menatap keheranan. Begitu juga Ruri yang heran dengan kemunculanku yang tiba-tiba.
“Ini bukan urusan sampean! Kalau nggak mau benjut, jangan halangi kami!” ujar pria kedua yang botak dan lebih pendek dari pria pertama.
Baca juga:
“Orang yang nggak sabaran, pasti lemah syahwat!” ujarku sambil menendangi kedua pasang bola mereka secepat kilat. Lalu kemudian dengan cepat kubenturkan kedua kepala mereka.
“Mas, kalau ke sini lagi, jangan aneh-aneh kalau nggak mau kupanggilkan sepasukan polisi! Temanku jendral semua!” sahutku sambil menendang mereka ke pinggir jalan.
Aku berbalik badan. Ruri melongo, masih tampak tak percaya dengan apa yang ia lihat baru saja.
Tiba-tiba ‘Ton’ berlari keluar dari rumah. Menghampiri ibunya yang masih tak berkutik di depanku.
“Mama kenapa? Nggak papa kan?” tanya ‘Ton’ khawatir dengan suara cemprengnya.
‘Ton’ kini menatapku curiga. Matanya menjadi bengis.
“Bapak nyakitin mama ya?! Tanggung jawab?! Pergi sana! Pergi!” ujar ‘Ton’ sambil membuang tinju dan tendang ke arah angin. Salah satunya berhasil mengenai tulang keringku.
Hei! Apa salahku! Aku menahan kesakitan. Kuat juga tendangannya.
“Nak, sudah nak! Bapak ini nggak salah.” Akhirnya! Kenapa harus menunggu satu tendangan dulu ke tulang kering baru melerai?! ‘Ton’ kini tampak bingung, tapi air mata sudah keluar dan ekspresi wajahnya begitu sedih.
“Maafkan saya mas.. Terima kasih banyak sudah membantu. Mas mau mampir dulu minum teh?” tanya Ruri sopan.
“Maaf, saya sungkan dengan suamimu. Ngomong-ngomong, kemana suamimu? Kamu jadi kesulitan kan kalau sendirian?” tanyaku tanpa basa-basi.
Kini Ruri tertunduk sedih. Menutupi telinga ‘Ton’ yang kini memeluk kaki Ruri. Sepertinya aku sudah salah bicara
“Suami saya sudah meninggal, mas.”
Bersambung ke Ia dan Anak Semata Wayangnya
Baca juga: