Sang Pria yang Terlahir dari Guntur

In my heart lies a memory to tell the stars above

Don’t forget to remember me my love

Akhirnya kami tiba di pinggir desa. Aku dan gadis itu saling merangkul, saling membantu berjalan karena kami berdua pun masih shock dengan apa yang kami alami. Di pinggir desa sudah berkumpul pula seorang pria tua dan sekelompok pemuda yang sudah siap dengan obor, pentung, dan golok. Hmm.. ada yang membawa keris pula. Tepatnya si pria tua itu.

Baca kisah sebelumnya dalam Gadis Cantik dari Antah Berantah

“Astaga!” pria tua itu kini tampak terkejut melihat kedatangan kami setelah beberapa pemuda memberitahunya bahwa kami sedang berjalan di belakangnya. Perjalanan dari hutan dengan keadaan kami yang seperti ini tentu tidaklah begitu mudah. Kami harus berjalan perlahan-lahan, namun cukup cepat pula untuk memastikan bahwa tak ada yang membuntuti kami. Pada akhirnya, kami juga tetap baru sampai ke desa ketika sudah cukup gelap untuk ‘penculikan’.

“Kinasih! Ke mana saja kamu, nak?” Terjawab sudah pertanyaanku. Nama gadis cantik ini Kinasih, dan pria tua itu ayahnya, yang artinya adalah kepala desa ini. Aku sedikit tersenyum, sebagai pria normal yang senang dengan gadis cantik, setidak-tidaknya ketika satu misterinya terpecahkan, aku merasa lega.

 

Baca juga:

 

Kinasih tak menjawab. Ia kini melepaskan rangkulannya dariku.

“Ayahanda!” Kinasih berlari sambil menangis ke pelukan ayahnya.

“Ada apa, nak? Kamu kenapa?” tanya pak kepala desa.

“Para perampok hutan itu tiba-tiba muncul!” kata Kinasih masih sambil terisak.

“Dan Pria yang bersamamu itu salah satunya?!” tanya pak kepala desa buru-buru menggeram. Seperti macan ompong yang hanya bisa menggertak.

“Bukan ayah! Pria ini yang menyelamatkanku. Tampaknya ia terluka.” kata Kinasih menenangkan ayahnya.

Kemudian pak kepala desa meminta kain kepada warga desa — yang kini jumlahnya bertambah banyak karena penasaran — untuk melapisi tubuh kepada Kinasih. Pak kepala desa kini menatapku dengan lembut, mengayunkan tangannya, menandakan bahwa aku boleh bergabung dengan rombongannya. Beberapa langkah, dan aku terjatuh, masih shock dengan apa yang kualami barusan. Dua pemuda langsung membantuku berdiri, merangkulku, dan kemudian berjalan bersamaku.

Tidak lama kemudian kami sampai di sebuah rumah yang paling besar dan indah di desa ini. Tidak seperti rumah-rumah lainnya, di rumah ini sudah mulai tampak penggunaan lampu listrik. Bola lampu yang berpijar kuning. Halaman rumahnya diterangi oleh obor-obor. Ada pula joglo dan juga halaman luas di dekat rumah besar tersebut. Tampak di joglo, sekelompok pria membicarakan hal dengan serius, sementara di halaman tampak anak-anak gadis sedang latihan menari. Dengan tingkat keramaian seperti ini, aku dapat dengan mudah menyimpulkan, bahwa aku telah sampai di rumah kepala desa.

 

Baca juga:

Ketinggalan dengan awal mulanya mini-novel ini? Mulai dari sini: Don’t Forget to Remember Me – Part 1

 

“Pakaianmu begitu aneh. Kamu seperti kompeni yang senang memantul-mantulkan bola ketika bermain.” ujar kepala desa kepadaku.

“Bersihkan dirimu, gantilah pakaian dengan yang ada di dalam. Iyem akan membantumu di dalam.” peritah kepala desa.

“Iyem, sekalipun hanya abdi di sini, sudah saya anggap bagian keluarga. Jadi hormati dia sebagaimana kamu harus menghormati keluarga kami!” jelas pak kepala desa tanpa kutanyai.

Aku hanya menatap dengan heran dan masuk ke dalam. Mengikuti Iyem yang langsung menyambutku dan mengarahkanku ke kolam mandi yang ada di belakang.

Samar-samar kudengar Kinasih berucap pada ayahnya, “Ayahanda, aku berhutang nyawa pada pria itu. Biarkanlah dia tinggal di sini untuk sementara.”

Setelah itu, aku hanya melihat tatapan ayahnya yang penuh khawatir dan masih mengawasiku. Sementara tatapanku menghilang ke dalam bilik.

Selesainya aku membersihkan diri, aku mengenakan pakaian yang disiapkan Iyem. Entah mengapa pakaian ini begitu pas denganku. Sebuah celana kain dengan panjang hanya hingga sebetisku, jarik, dan atasan berwarna biru gelap. Setelah berpakaian lengkap, aku diantar Iyem menuju ruang santai keluarga. Terdapat bulsak dari bambu dengan beberapa lapis kain di atasnya dan juga kursi-kursi berukiran apik. Pak kepala desa duduk di salah satu kursi itu. Aku disuruh duduk di bulsak. Bukan sebuah ‘pemersilahan’ yang wajar menurutku. Lalu aku disuruh melepaskan atasanku dan berbaring.

 

Bersambung ke Pria itu Bernama Gamuruh

Baca juga:

Latest articles

Related articles

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!