Rahasia yang Dibuka: Melestarikan Tarian Para Sultan

Tari jawa klasik awalnya hanya boleh dipentaskan di kalangan keraton saja. Namun sejak tahun 1950, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengehendaki tarian ini juga bisa dipentaskan di luar keraton.

Keputusan itu menjadi angin segar bagi penggemar tari Jawa klasik. Raden Mas inusatomo, ketua Yayasan Siswa Among Beksa mengatakan, begitu boleh dipentaskan di luar tembok, peminatnya bertambah dengan pesat. Karena itu, didirikanlah Yayasan Siswa Among Beksa Yogyakarta.”Among Beksa berarti memelihara tari. Lembaga ini resmi berdiri sebagai lembaga pelestari budaya Jawa sejak 13 Mei 1952 dan hanya berkonsentrasi pada tarian Jawa klasik,” kata Raden Mas Dinusatomo.

Baca juga:

 

Dikisahkan Raden Mas Dinusatomo, dulu tarian ini hanya bisa pentas saat peringatan HUT Bebadan dan HUT Sultan. Tapi kini, tarian Jawa klasik sudah banyak dipentaskan di luar keraton, seperti untuk acara pernikahan, selamatan, sya’walan, dan seremonial lainnya.

Karena Yayasan Siswa Among Beksa hanya bergerak di bidang seni tari Jawa klasik maka cakupannya menjadi sempit. Tarian yang ditampilkan pun jadi sangat terbatas, seperti tari bedhaya, srimpi, dan tari lawung. Ketiga jenis tarian ini merupakan tarian yang diciptakan oleh Sultan HB I hingga HB IX.

Setiap tarian bedhaya, cerita Dinusatomo yang akrab dipanggil Rama Dinu, memiliki makna masing-masing sesuai zamannya. Misalnya saja tarian Bedhoyo Gondokusumo ciptaan Sultan HB II yang mengisahkan perang antara Senopati dengan Retno Dumilah. Sultan Agung Hanyokrokusumo juga sempat menciptakan sebuah tarian bedhaya di tahun 1613, dengan nama tarian Bedhoyo Semang, “jadi setiap sultan harus menciptakan satu tarian bedhoyo. Selama masa Sultan HB I hingga HB IX lebih kurang ada 15-an tari bedhaya. Selain itu harus ada peristiwa yang melatarbelakangi terbentuknya tarian itu. Kalau tidak ada, ya tidak bisa terbentuk,” ujar Rama Dinu.

Baca juga:

 

Di tahun 1950-an, jumlah siswa di Among Beksa sekitar 200 orang dan mulai surut tahun 1970-an. Sekarang siswanya hanya 50 sampai 70-an. Mereka mayoritas wanita, sementara peminat laki-laki hanya 2 orang. Menurut Rama Dinu, laki-laki memang kurang meminati seni tari dan itu terjadi pada semua jenis kelompok tari. Itu mungkin karena gerakannya terlalu sulit atau tidak telaten dan membutuhkan energi besar untuk mempelajarinya.

Nama Among Beksa termasyur hingga Amerika dan Eropa. Reputasinya pun sangat baik. Semenjak tahun 1971, Among Beksa sering mendapat tawaran pentas ke luar negeri, seperti dari Belanda, Inggris, Belgia, Jerman, Italia, Jepang, Hongkong, Amerika, dan Suriname. “Biasanya diundang pentas untuk promosi secara langsung. Ini yang membuat nama kita cukup dikenal. Pentas juga membuat para siswa semangat. Sekali pentas mereka dapat uang dan mereka senang. Kalau sekali pentas di dalam (lokal) 5 juta hingga 50 juta, dan kalau luar negeri bisa tiga kali lipatnya itu,”jelas Romo Dinu.

Di tengah arus globalisasi yang semakin pesat, Romo Dinu tetap optimis bahwa seni tari Jawa klasik bisa tetap eksis. Sebagai bentuk pelestarian, Among Beksa mengombinasi tarian dan mengkreasikan dengan yang baru, tapi tidak meng hilang kan dasartarian tersebut. Sehingga ragam, iringan, serta gerakan asli tari klasik tetap menggambarkan situasi dan kehidupan masa kini.”Kita bisa tetap bertahan karena motivasi dan juga semangat. Saya optimis, tarian klasik Jogja tidak akan mati, karena sudah banyak yang mempelajarinya dan meneruskan tarian itu,” tambahnya.

Baca juga:

Aresta Nia
Aresta Nia
Penulis. Story teller. Suka musik dan puisi. Aktif menulis sejak 2015.

Latest articles

Related articles

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!